Gunung Merapi
sumber: kemdikbud.go.id
Gunung Merapi merupakan gunung api bertipe strato andesitik-basaltik yang terletak di perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah dengan D.I. Yogyakarta dengan posisi geografis pada 7032,5’ LS dan 110o26,5’ BT (Sumarti dkk, 2010). Gunung Merapi merupakan salah satu gunung api yang menarik untuk diselidiki karena tingkat aktivitasnya yang tinggi dan relatif kontinyu (Nandaka, 2008). Sepanjang sejarahnya sampai tahun 2010, Gunung Merapi tercatat telah meletus sampai 84 kali. Letusan tersebut terjadi dengan periode 2-5 tahun (periode pendek) serta 5-7 tahun (periode panjang). Merapi juga pernah mengalami periode istirahat terpanjang selama >30 tahun, terutama pada awal keberadaannya sebagai gunung api. Memasuki abad ke-16 saat pencatatan kegiatan Merapi sudah cukup baik, tercatat bahwa waktu istirahat terpanjang yang pernah dicapai Merapi adalah 71 tahun antara tahun 1587 sampai dengan tahun 1658 (Badan Geologi, 2010).
Merapi memiliki karakteristik erupsi yang spesifik yang disebut sebagai tipe Merapi, yaitu terbentuknya kubah lava yang pada titik stabilitas tertentu gugur atau longsor secara gravitasional dan disebut sebagai awan panas (Sumarti dkk, 2010).
Kubah lava (coulées) adalah lava dengan massa yang sangat kental namun miskin gas yang terkumulasi di puncak berbentuk bulat. Merapi mempunyai tipe lava andesitik dengan kandungan fenokris 30-50 % dan paling banyak 75 % material kristalin termasuk pertumbuhan mikrolit (Hammer dkk, 2000); dengan kandungan liquid (groundmass glasses) yang mempunyai komposisi riolitik bersama dengan kristalinitas menyebabkan viskositas tinggi (Voight dkk, 2000). Kebanyakan kubah lava pada Merapi tumbuh dekat dengan puncak; kebanyakan aliran lava berasal dari lubang yang sama dengan kubah tetapi mengalir sampai sejauh 1-6 kilometer dari puncak (Newhall, 2000).
Pada lereng yang curam ujung lidah kubah akan menjadi aliran lava atau coulées, yang merupakan transisi dari aliran konvensional ke kubah lava. Ketika ujung kubah lava tumbuh melebihi batas kekuatan, ketebalan dan kemiringan, maka longsoran dapat terjadi karena gaya gravitasi (Voight dkk, 2000). Situasi ini membentuk apa yang disebut Merapi Glowing Clouds atau Nuee Ardentes. Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering disebut awan panas (Escher 1933, McDonald, 1972).
Awan panas merupakan campuran gas dan material vulkanik seperti abu, pasir, kerikil, bongkah batu, dalam berbagai ukuran. Suhu awan panas bisa mencapai 1000 derajat celcius dengan kecepatan dapat mencapai lebih dari 100 km/jam. Jarak jangkauannya bisa mencapai puluhan kilometer tergantung skala letusannya (Nandaka, 2010).
Penjabaran awan panas Merapi dapat disederhanakan menjadi hanya 2 tipe yaitu dome-collapse nuee ardente dan fountain collapse nuee ardente. Dome-collapse nuee ardente atau sering disebut awan panas guguran adalah awan panas yang disebabkan oleh longsoran fragmentasi kubah lava yang tumbuh tidak stabil atau coulée dan umumnya menjadi awan panas yang mengalir ke arah lembah. Fountain collapse nuee ardente yaitu awan panas yang disebabkan oleh jatuhan material yang terlontarkan nyaris vertikal, dimana awan panas jenis ini dapat mempengaruhi sektor yang lebih luas di sekeliling lereng gunung (Nandaka, 2010).
Saat awan panas tersebut meluncur ke bawah, material yang mempunyai sifat basaltik akan mengalir mengikuti alur lembah sungai yang sempit dan curam. Aliran tersebut akan melampaui batas lembah secara lokal membentuk endapan overbank.
Dalam kurun waktu 1768 sampai dengan 2010 tidak kurang dari 50 kali telah terjadi erupsi dengan VEI 4 terjadi beberapa kali (Humaida, 2010). Salah satu buktinya adalah erupsi Merapi tahun 1872 yang mempunyai skala VEI 4. Letusan ini mengeluarkan material sebanyak 100 juta m3 dengan suara dentuman sampai ke Pulau Madura. Letusan ini menyebabkan kubah lava Merapi yang terbentuk tahun 1865 sepenuhnya hancur dan membentuk kawah terbesar yang pernah diketahui pada abad ke 19 dan 20 (Hartmann, 2006).
Erupsi G. Merapi umumnya bersifat efusif yang diakhiri oleh pembentukan kubah lava, tetapi pada erupsi G. Merapi tahun 2010 tipe yang berkembang adalah eksplosif berskala VEI 4 yang diakhiri oleh pembentukan lubang kawah. Erupsi G. Merapi dengan skala besar (VEI 4) pernah terjadi sebelumnya yakni pada tahun 1872, dimana erupsi semacam ini mempunyai siklus rata-rata 100-150 tahun sekali. Tetapi berdasarkan jumlah material yang dikeluarkan, erupsi 2010 diperkirakan lebih besar dari erupsi 1872 karena menghasilkan 130 juta m3 campuran awan panas, abu dan pumis yang tersebar di sungai-sungai utama G. Merapi (Aisyah dkk, 2010).
KLASIFIKASI HARTMANN (1935)
Berdasarkan pola erupsi G. Merapi menunjukkan pola berulang, Hartmann (1935) membagi aktivitas G. Merapi menjadi 4 kelompok yaitu kelas A, kelas B, kelas C dan kelas D. Urutan huruf yang semakin naik menunjukkan eksplosivitas yang semakin meningkat pula. Eksplosivitas ini berelasi langsung dengan kandungan gas di dalam magma yang naik ke permukaan (Hartmann, 1935 dalam Voight, 2000)
Kelas A
Aktivitas kelas A dicirikan oleh magma miskin gas yang naik melalui diatrema dan selanjutnya menyebar di sepanjang kubah atau membentuk coulee seperti lidah. Magma ini bisa menekan struktur kubah tersolidifikasi yang sudah ada sebelumnya. Ledakan kecil pada awal erupsi biasanya akan disertai dengan rentetan erupsi, dimana selanjutnya pertumbuhan kawah bisa menghasilkan dome-collapse nuees ardentes. Karena tekanan gas yang rendah pada magma, maka ledakan eksplosif besar tidak terjadi. Contoh periode aktivitas G.Merapi kelas A terjadi pada tahun 1883-1885, 1909-1918, 1939-1941 (Hartmann, 1935a; Van Bemmelen, 1949) dan kemungkinan 1992-1993.
Kelas B
Aktivitas kelas B dicirikan oleh magma yang mempunyai kandungan gas lebih tinggi. Ketika magma ini naik ke diatrema, ledakan kecil akan mengeluarkan material mengisi lubang sehingga memberikan jalan bagi magma viscous untuk keluar. Karena kandungan gas yang lebih tinggi dari kelas A, ledakan setelahnya jika lebih berenergi akan bisa membentuk fountain collapse nuees ardente.
Kelas C
Aktivitas kelas C dicirikan oleh magma yang cukup kaya gas, yang membentuk erupsi cukup besar sehingga sanggup meluluhlantakkan magma menjadi berbagai macam ukuran. Erupsi kelas ini juga dicirikan dengan tidak adanya letusan kecil sebagai awal mula letusan selanjutnya yang lebih besar, sehingga erupsi ini bisa dikategorikan cukup berbahaya. Puncak gunung biasanya sebagian akan hancur membentuk kawah hasil letusan yang baru. Terbentuk fountain collapse nuees ardentes.Setelah letusan, magma yang mengandung gas akan membentuk kubah atau coulee seperti lidah.
Kelas D
Aktivitas kelas D dicirikan oleh magma yang jenuh dengan gas. Ledakan besar biasanya diawali dengan fountain collapse nuees ardentes yang membersihkan bagian atas dari lubang kawah
Baca Juga Yang Ini, Seru Loo!!
No comments :
Post a Comment