Dengan penampilan saya yang sangat apa adanya, sejak SMA pekerjaan pertama yang paling saya hindari itu ya kerja di bank. Ada-ada saja yang bilang kalau kerja di bank itu dandan harus tebel, pakai rok mini, rambut disanggul, pakai sepatu hak tinggi, semuanya membuat saya semakin tidak tertarik saja. Pekerjaan yang paling saya idam-idamkan ya sebagai engineer, entah oil, gas, atau batubara (sesuai jurusan kuliah saya). Saya rasa keren ya bekerja seperti itu, memakai seragam yang penuh oil, uang melimpah, awhh terkadang mimpi saja memang enak.
Seperti ingin memberikan tantangan kepada saya, pada tahun pertama kuliah tiba2 saya ditawari beasiswa oleh bank suatu bank swasta. Beasiswanya menggiurkan sekali, mencakup biaya hidup bulanan yang mencapai Rp 1,000,000 dan biaya kuliah yang totalnya mencapai Rp 28,000,000. Siapa yang sanggup menolak? Apalagi ditambah kondisi keluarga saya yang pas-pasan, dan juga saya merasa bisa memenuhi semua impian dan ambisi saya dengan semua uang itu.
Tanggung jawabnya? Tentu saja ada. Saya harus bekerja di bank setidaknya selama 4 tahun. Saya waktu itu tidak terlalu peduli dengan syarat itu, karena saya pikir, "yah masih lama juga, yang penting sekarang dapat beasiswanya dulu."
Tak terasa waktu berjalan dengan cepat sampai saya akhirnya lulus dan harus mempertanggungjawabkan beasiswa saya. Teman-teman selalu menggoda saya, jika nanti di bank saya harus dandan tebel dan pakai rok mini. Saya tidak masalah dengan itu semua, hanya kurang terbiasa. Apalagi bagi mahasiswi teknik geologi, yang notabene saya lebih banyak di lapangan untuk lihat batu. Beberapa hari sebelum berangkat ke Jakarta untuk magang di bank ini saya sempat stress. Saya stress memikirkan bagaimana nanti bisa bertahan hidup di Jakarta. Apalagi Bapa tidak punya uang untuk memberi saya modal hidup sebulan pertama di Jakarta. Akhirnya saya terpaksa menggunakan semua hasil jualan barang bekas online saya yang 'hanya' 1,6 juta untuk kos dan bertahan hidup 1 bulan di Jakarta. Bapa juga menambah-nambah sedikit di tengah bulan.
Hari-hari awal saya lalui dengan kikuk di bank. Saya takut penampilan saya akan menjadi yang paling 'ndeso', 'amburadul' dan 'paling tidak modis' di tengah2 orang kantoran Jakarta. Tapi ternyata semuanya biasa aja dan saya ditempatkan di divisi legal, divisi yang menangani dokumen2 secara legal/menurut undang-undang. Suatu divisi yang sangat menyimpang dari jurusan kuliah saya. Tapi saya berusaha sabar dan menjalani semua dengan hati ikhlas. Tidak ada yang memandang aneh saya, semuanya friendly. Gaji saya sebesar 3,3 juta.
Ternyata bekerja di bagian 'back office' suatu bank tidak mengharuskan kita memakai 'make up' tebal dan 'rok mini' yang selalu digodakan teman saya ke saya. Saya selalu menggunakan pakaian formal sederhana, seperti kuliah dengan tambahan blazer. Sepatu menggunakan vantovel yang saya beli di Blok M seharga 55rb. Saya pernah mendapatkan beberapa kali komentar terkait penampilan, tapi itu tidak terlalu mengganggu. Saya memperbaikinya, dan melupakannya.
Pekerjaan saya lebih banyak berkisar pada melakukan pengecekan perjanjian apakah sudah sesuai dengan undang-undang atau belum, mengurus pemberian surat kuasa, menelpon sana sini, menelpon notaris, membantu pelaksanaan RUPS, membuat list akta.
Teman kerja kebanyakan baik dan ramah, terutama cowok yang tidak selalu memandang penampilan untuk berkawan. Saya banyak ngobrol dan bertukar pendapat dengan cowok-cowok. Ada satu ibu yang sepertinya kurang suka dengan saya karena sering uring-uringan sama saya, walaupun saya sudah melaksanakan perintahnya dengan baik dan sungguh-sungguh. Yah, saya anggap itu semua sebagai ujian saja. Saya memperoleh pengalaman berharga disini.
Satu hal yang membuat saya kurang betah adalah macetnya Kota Jakarta, polusi, dan saya kurang bisa enjoy di kantor. Saya selalu merasa bekerja setiap hari, padahal kata orang, kalau kita menikmati pekerjaan kita akan serasa tidak bekerja. Saya ingin merasakan hal itu. Semua tekanan itulah yang akhirnya mendorong saya untuk melamar sebuah posisi PTT (Pegawai Tidak Tetap) salah satu kantor pemerintah di Surabaya. Saya ingat suatu saat pernah berdoa kepada Tuhan, supaya Tuhan memberikan saya pekerjaan di Surabaya, dan dikabulkan.
Sekarang saya merasa sangat senang di Surabaya, karena kota ini tidak semacet Jakarta. Walau yang saya sesalkan adalah susahnya cari kos disini. Tapi aku bahagia dan semoga ini bisa menjadi titik awal untuk karirku.
Baca Juga Yang Ini, Seru Loo!!
No comments :
Post a Comment